Penggunaan “obat tradisional” serta pengobatan tradisional telah lama dipraktekkan di seluruh dunia, baik di Negara yang sedang berkembang maupun di Negara yang telah maju. Sejarah kedokteran telah menunjukkan bahwa sebagian obat tradisional ini ternyata merupakan cikal bakal dari obat moderen. Sebagai contoh adalah kina dan reserpin yang sejak dahulu telah dipakai sebagai obat tradisional untuk penyakit-penyakit tertentu, tapi dosisnya belum dapat ditentukan. Kemudian dengan cara pemurnian dapat ditemukan substansi ysng efektif sehingga takaran dan khasiatnya dapat diukur.
Fakta menunjukkan bahwa upaya kesehatan tradisional telah dikenal dari dulu kala dan dilaksanakan jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obat modern. Sampai saat ini masyarakat masih mengakui dan memanfaatkan pelayanan dengan obat tradisional ini. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, upaya kesehatan tradisional dengan obat tradisionalnya perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, dibina dan dikembangkan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna.Menurut PERMENKES RI No. 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum, ditempelkan pada permukaan kulit atau mukosa. Tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau aerosol. Dalam bentuk sediaan oral obat tradisional ini dapat berbentuk bubuk yang menyerupai obat moderen seperti kapsul, tablet atau sediaan supositoria. Ketersediaan obat tradisional dalam berbagai bentuk ini perlu dibina dan diawasi oleh pemerintah supaya tidak terjadi pencemaran dengan bakteri atau bahan alami lainnya. Disamping itu pula perlu diwaspadai pencampuran obat tradisional dengan obat-obat moderen. Hal yang terakhir ini perlu dipikirkan bagaimana cara pengawasan dengan sebaik-baiknya.
Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies diantaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar husodo (Jawa), Usada(Bali), lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen serat primbon Jampi, serat racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan negra maju. Menurut WHO (badan kesehatan dunia) hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor pendorong terjadinya penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US $ 60 milyar.
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal yang lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih dalam memudahkan standarisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni. Di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi obat tradisional. Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), sampai tahun 2002 terdapat 1.012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Karena banyaknya variasi sediaan bahan alam, maka untuk memudahkan pengawasan dan perizinan, maka badan POM mengelompokan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan seiaan fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya seara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya harus distandarisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental, sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandarisasi dan harus melalui uji klinik.
Dalam upaya peningkatan pemanfaatan bahan alam Indonesia yang terjamin keamanannya, badan POM bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi termasuk sedang meneliti 9 tanaman obat unggulan nasional sampai uji klinis. Tanaman itu adalah salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati Belanda, temulawak, jabu biji, cabe jawa dan mengkudu.
Dengan melihat jumlah tanaman Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional oleh industri maka peuang bagi profesi kefarmasian untuk mninkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standarisasi bahan baku dan obat jadi, pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal dapat semakin diterima oleh masyarakat luas.(informasi-obat.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar